Jumat, 27 Februari 2009

lonely part 1

13 Oktober 2008.

Matahari mulai menyusup masuk ke peraduannya. Gelap yang tersisa menghantar malam, angin sore berhembus tanda hari kan hujan. Berat sekali melangkahkan kaki tuk beranjak dari sana. Masih terngiang sedu sedan Ilham adik bungsuku pagi tadi. Ditengah isaknya ia menyampaikan kabar yang sebenarnya sudah kuketahui. Kabar yang sangat tak ingin aku dengar, bahkan kuketahui. Masih kuingat jelas kata-kata manisku saat menenangkan ilham yang sebenarnya lebih tepat untuk diriku sendiri.
Di sore bulan Oktober ini kubuka kembali memori-memori yang sudah lama kukubur dalam hatiku.Dan hari ini 13 Oktober, rasa sakit itu kembali menyeruak menyesakkan hatiku sampai aku sulit tuk bernafas. Mereka bertengkar lagi dengan permasalahan yang sama, perselingkuhan. Kata yang begitu ku benci bahkan ingin kubuang dalam perbendaharaan kata yang kumiliki. Penyakit lama ayah kembali dan ini untuk yang kesekian kali. Rasanya aku ingin pulang memeluk ibu dan menenangkannya. Betapa sabar ibuku menghadapi “penyakit” ayah. Bertahun-tahun ia menahan sakit hatinya hanya demi anak-anaknya. Masih ingat kejadian 3 tahun lalu, demi aku anak perempuan satu-satunya, ibu membatalkan surat gugatan cerainya. Dan inilah yang kutakutkan di sore ini. Aku takut ibu melakukan hal yang sama, menggugat cerai ayah. Terlintas wajah polos ilham yang manja, mengalami peristiwa yang sama denganku.
Sebuah sms masuk dan itu dari teman kuliahku, Ovi. “bu, kul enggak? Hari ini kita ada kuis lho.”Isi smsnya. Kuliah, kata-kata itu menyadarkanku. Aku sedih tapi aku tetap harus kuliah. Kutinggalkan BKB dengan perasaan yang tak menentu, dan kuharap di kampus aku bisa melupakan kesedihanku walau sejenak.

*

20 Oktober 2008.

Marah. Pantaskah aku Marah dengan Iki?
Seperti biasa setiap senin malam iki menjemputku di kampus. Sembilan bulan yang lalu ia resmi menjadi pacarku. Dan malam ini, sepanjang perjalanan pulang kami hanya diam saja. Beberapa kali aku mengajaknya berbicara tapi tak di gubrisnya, entah karena ia tak mendengar atau karena ia memang tak mau bicara. Padahal akhir – akhir ini kita jarang komunikasi. Sampai di rumah tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya dan aku marah. Kukirimkan sms padanya.
“ki, kenapa?Iki marah sama Rie?Rie gak mau dicuekin kayak gini. Iki udah bosan sama rie?Bilang ki…atau ada cewek lain?Rie ikhlas kalau memang ada cewek yang lebih baik dari rie, jangan diam kayak gini.”

Tadinya aku ragu untuk menekan tombol send, karena kondisinya aku sedang emosi tapi akhirnya sms itu terkirim juga. Tak lama Iki membalasnya dengan jawaban klise dan basi menurutku. Alasannya sudah terlalu sering diucapkannya bahkan sejak awal kita pacaran dan sekali lagi aku luluh. Padahal malam ini aku ingin sekali bercerita dengannya tentang apa yang terjadi dengan keluargaku akhir – akhir ini. Aku ingin dia duduk mendengarkanku tak lebih. Dan itulah awal kekecewaanku padanya. Biasanya aku menceritakan semua permasalahanku dengan Ani, ia teman dekatku. Dan hanya dialah yang mengerti aku. Tapi aku tak tega untuk cerita kepadanya, karena ia sendiri sedang pusing menyelesaikan skripsinya. Jadilah aku sendiri di kamar menikmati sedihku bersamaNya.

*
31 Oktober 2008.

Salah. Semuanya salah, aku melampiaskan kekecawaanku dengan tak makan. Jadilah aku seperti sekarang, menahan sakit di sela-sela kuliahku. Rasanya aku tak sanggup menyelesaikan kelasku malam ini. Oh God………..
Parahnya aku tak membawa obat. Lengkap sudah penderitaanku. Hari ini di kantor aku sudah dipusingkan dengan laporan yang di buat mbak Emi. Semua data yang ia buat salah, dan aku harus mengulang semuanya dari awal. Jadilah aku tempat bosku melampiaskan kemarahannya. Beruntunglah aku mempunyai teman- teman yang care seperti Ovi dan Deriz. Mereka memberikan senyum disela-sela sakitku dengan guyon-guyonnya.
Ending penderitaanku hari ini. Ternyata box obatku ketinggalan di kantor. Sebenarnya sebelum pulang kuliah tadi aku sudah berniat untuk membeli obat tapi gerimis tak mengijinkannya. Rasanya aku ingin mati, di warung dekat rumahku tak ada jualan obat maag. Sudah dua kali aku muntah dan orang-orang di rumah ini seperti tidak ada yang peduli. Mereka memang keluargaku tapi posisinya aku hanyalah menumpang dan tak pantas merepoti mereka. Seandainya mereka tahu kalau aku sedang sakit baik fisik maupun mental (depresi) lantaran masalah orang tuaku. Tapi apa boleh buat ibu melarang menceritakan permasalahannya dengan nenek.
Akhirnya aku nekat minta tolong sama Iki untuk membelikan obat, saat itu sudah tengah malam. Rasanya tak tega membayangkan iki keluar malam-malam di bawah gerimis. Tapi aku merasa tersanjung oleh sikapnya. Rasanya hilang semua kekecewaanku padanya akhir-akhir ini. Dan aku bahagia.

*

02 November 2008.

Pagi yang cerah dan kuharap hatiku secerah mentari. Salah satu temanku hari ini akan mengakhiri masa remajanya dan akan melangkah ke babak baru kehidupannya. Pernikahan. Kapankah aku akan menunaikan sunnah rasul tesebut?Akankah aku dapat mengatasi ketakutanku akan pernikahan?Apalagi dengan kondisi keluargaku sekarang yang belum jelas apakah bisa terselamatkan atau tidak. Melihat ini, kengerianku terhadap pernikahan semakin menjadi.
Aku teringat saat mama iki melamarku. Walau sebenarnya aku tidak tahu apakah itu serius atau sekedar menggodaku. Yang pasti waktu itu wajahku merah. Merah karena malu dan merah karena ketakutanku akan pernikahan.
Dan hari ini aku akan menyaksikan salah satu temanku akan mengikat dirinya seumur hidup dengan laki-laki yang di cintainya. Aku datang ditemani Iki. Awalnya semua biasa saja,kami datang ke resepsi itu. Hari itu ada dua resepsi pernikahan dan keduanya adalah temanku. Di tengah acara aku ingin menghubungi mbak Emi yang akan pergi ke resepsi Kak Herdy (Kak Herdy adalah teman kerjaku atau lebih tepatnya mentorku dalam pengajian). Tapi aku lupa membawa handphone. Memang kebiasaanku yang tidak pernah membawa hp saat bepergian kalau aku tidak membawa tas.
Dan inilah awal kekecewaan keduaku kepada Iki. Untuk menghubungi mbak emi aku meminjam hp iki. Berhubung suasananya sangat crowded aku lebih memilih sms. Aku tidak tahu setan apa yang mempengaruhiku untuk membuka inbox di hp iki. Dan saat kulihat semuanya sms dari cewek lain walau sms dariku lebih banyak. Satu persatu sms yang ada di inboxnya aku compare dengan sent itemnya. Dan sadarlah aku kalau akhir-akhir ini iki lebih sering smsan dengan cewek lain. Betapa bodohnya aku, selama ini aku selalu berpikir kalau smsku tak dibalas lantaran iki gak ada pulsa. Apalagi saat aku membaca sms di tanggal 01 November.
“Pagi tia, udah sarapan blm?
Gmn sktny?jgn lp mnm obat ya.
Sent : 09.02 Wib

Bandingkan

Gmn perutny?msh skt
Sent : 09.05 (ini isms untukku)

02 November 2008
“pagi ki…udah bngn blm?
Katanya semalam mau ke rmh, kok g jd.
Ke tempat Rie ya….ho…..
Sent : 07.14
(artinya Iki janji mau ke tempat tia semalam -> malam minggu)

Pantaskah aku cemburu?pantaskah aku marah?sampai acara resepsi selesai tak ada senyum di bibirku. Tak ada kata-kata manis yang kukeluarkan, aku diam menahan emosiku.
Dan hari itu yang seharusnya menjadi hari dimana aku menumpahkan rasa rindu dengan Iki berubah menjadi hari yang tak ingin aku ingat. Kalau memang Iki pedekate dengan tia, kalau memang tia lebih baik dari aku seharusnya Iki mengakuinya. Dan lengkaplah sudah permasalahan yang kuhadapi. Aku harus mengalami hal yang sama seperti yang ibu sedang rasakan dan aku sakit. Sakit banget sampai hari itu tak sanggup rasanya sebutir nasi masuk ke mulutku. Sakit banget sampai aku harus menangis.
Disaat itulah Egi lengkapnya Firgie Nathanael Soma masuk dan terlibat dalam kesedihanku. Sebenarnya Egi adalah teman lamaku. Hampir satu bulan ini ia sangat intens menghubungiku. Bahkan kita sering jalan bertiga dengan pacarnya Elsya yang akrab dipanggil Eca. Egi tahu kalau aku sedang sedih maka hari itu ia menghiburku dengan leluconnya yang menggelitik. Aku akui sesaat aku bisa melupakan kesedihanku terhadap semua permasalahanku.
Bertambah lagi kekecewaanku terhadap Iki. Ia sama sekali tidak tahu hari ulang tahunku. Iki bertanya dengan Tiwi (salah satu temanku) tentang ulang tahunku. Dan didapatlah tanggal 3 November. Sebenarnya aku senang dengan rencana yang telah ia susun dengan temannya untuk memberikan surprise walau ia salah dengan tanggal ultaku tapi kekecewaanku lebih besar. Dan bodohnya, aku begitu mudah luluh dan memendam semua kecewa yang kurasa. Dan sekali lagi egi hadir sebagai obat penawawar semua kesedihanku.
*
05 November 2008.

Egi semakin berani menunjukkan perhatiannya kepadaku. Bahkan tak sungkan ia memanggilku sayang bahkan di depan Eca. Sering aku protes tapi ia tak pernah mengindahkannya bahkan Eca tak marah mendengar itu. Kalau sebulan kemarin aku hanya sesekali membalas atau menjawab telponnya, kini akupun terpengaruh dengan sikap manisnya. Jujur sangat jarang Iki memperlakukanku seperti itu bahkan tak pernah. Mungkin karena Iki termasuk orang yang cuek dan aku merasa nyaman dengan itu (tadinya). Tapi sekarang dengan kondisiku yang sedang down, keperibadianku berubah 180 ยบ , yang tadinya cuek berubah menjadi melankolis dan selalu ingin diperhatikan. Dan parahnya semua itu aku dapatkan dari Egi bukan Iki.
Aku sedang libur dan sepanjang hari kuhabiskan dengan bertelponan ria dengan Egi bahkan kadang Eca ikut gabung. Aku nyaman bersama Egi dan Eca.mereka benar-benar menghiburku. Sebenarnya aku bingung dengan Eca, jelas-jelas Egi memberikan perhatian lebih kepadaku tapi Eca sama sekali tidak menunjukkan rasa cemburu. Aku iri dengan Eca yang begitu cuek padahal dibelakang Egi ia selalu memprotes sikap egi kepadaku. Aku tambah bingung, jadilah aku sebagai jembatan penjelas diantara mereka. Tapi jujur tak ada perasaan lebih kepada Egi kecuali persahabatan dan Egi tau itu apalagi Eca. Makanya Eca tak pernah takut aku merebut Egi karena Eca tahu bagaimana perasaanku kepad Iki. Apa yang sedang terjadi antara aku, Egi dan Eca sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan aku, Iki dan tia. Tapi aku tidak mempunyai perasaan khusus kepada Egi walau kutahu egi mengharapkanku. Sedangkan tia mempunyai perasaan special terhadap Iki dan Iki pun demikian itu yang membuatku sakit. Dan kebodohanku dan Eca sama. Sama-sama dibodohin oleh laki-laki yang sama sekali tidak menghargai kami. Dan bodohnya lagi kami sama-sama menaruh harapan terhadap laki-laki yang kami cintai.
Eca yang baik. Tak tega rasanya melihat ia selalu mengeluh tentang sikap egi yang mulai tidak perhatian. Eca selalu menyembunyikan semua kekesalannya terhadap egi. Begitu besar rasa sayangnya tehadap laki-laki yang sama sekali tidak menghargai perasaannya. Rasanya aku ingin membunuh semua laki-laki yang ada di bumi. Betapa mudahnya mereka membuat wanita menangis. Aku muak dengan semuanya.
*

09 November 2008.

Septian. Tiba-tiba laki-laki ini menelponku. Sejak idul fitri kami tidak pernah berkomunikasi. Memang sesekali ia mengirimkan sms-sms lucu dan biasanya kutanggapi dengan dingin. Hari ini aku dan tiwi akan ngedate bareng (yang pasti kita tidak lesbi), kami akan menghabiskan hari minggu bersama. Telpon Septian masuk saat aku dan tiwi sedang on the way ke Gramedia. Tadinya tidak ingin aku jawab tapi Tiwi menyuruhku menjawabnya. Seperti biasa septian (mantanku-red)mulai berbasa-basi mulai menanyakan kabarku, dan lainnya. Ia mengira aku sedang ngedate dengan Iki dan saat aku bilang kalau aku dengan Tiwi ia mulai menanyakan dimana keberadaan kami. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun jadi aku jawab sejujurnya toh dia nggak ada di kota ini.
Pukul 03.02 wib saat aku dan tiwi keluar dari Gramedia aku melihat sebuah mobil yang parkir tidak jauh dari sana dan aku mengenal mobil itu. Belum sempat aku mengatasi keherananku, septian muncul dari belakang kami. Kaget, tentu saja. Apalagi tiwi yang memang sudah lama tidak bertemu dengannya begitu kaget melihat perubahan septian. Jadilah sore ini reuni kecil-kecilan kami. Aku senang Septian mulai berubah. Banyak hal yang kita ceritakan. Tapi anehnya aku ingat Iki,ada perasaan bersalah. Apakah Iki merasakan hal yang sama saat ia sedang jalan atau smsan dengan tia?sakit itu datang kembali.
Sebelum magrib Septian harus balik dan ia berniat mengantarku pulang. Tapi aku menolaknya. Karena aku dan Tiwi akan mengakhiri petualangan kami hari ini di BKB. Ya kami akan melewatkan senja di BKB dan menumpahkan semuanya disana. Akhirnya tiwi mencurahkan semua kegundahannya akhir-akhir ini. Aku mendengarkan dan memberi support untuknya. Dalam hati aku bersyukur, tidak hanya aku yang bermasalah, tidak hanya aku yang sedih. Bahkan masalahku tidak seberapa dibanding yang dialami Tiwi. Tapi setidaknya dia lebih beruntung ada aku yang mendengarkan keluh kesahnya sedangkan aku?Aku memang sangat sensitif dengan apa yang sedang menimpaku khususnya masalah keluargaku. Sulit bagiku untuk menceritakannya walau itu dengan tiwi. Tadinya aku ingin bercerita dengan Iki tapi melihat kondisi hubungan kami sekarang rasanya tidak mungkin. Aku ingin dia ada saat ini, disini. Tapi itu rasanya tidak mungkin. Aku sendiri tidak tahu dimana dia sekarang. Tangis Tiwi menyadarkanku, kalau tangisku untuk Iki itu percuma. Toh dia tidak perduli dengan perasaanku bahkan dia tidak berusaha meyakinkanku.
Ada sms masuk dan itu dari Iki, ia ingin bertemu denganku. Sempat kaget, padahal tadi aku berharap dia ada disini. Senang?aku tak tahu.

*

11 November 2008.

Hujan sudah turun dari pagi. Dan itu berlangsung sampai siang. Aku berencana menemani mbak Cory belanja tapi kuurungkan karena aku ingin ke tempat iki. Mama iki sedang tidak ada di rumah jadi aku berniat mengajaknya makan siang diluar. Tadinya aku ingin membawakan makanan dari rumah tapi ternyata hari ini di rumah tidak ada acara masak-memasak. Nenek sedang puasa dan makanan untuk malam semuanya akan dibeli nanti sore. Aku sms Iki memberitahukan kalau aku akan ke rumahnya tapi tak ada balasan. Akhirnya aku telpon tapi yang kudapat hanya mail box. Bahkan sampai siang tetap mail box. Sedikit kecewa tapi apa boleh buat keadaan tidak mengijinkan.
Pukul 02.10 wib aku memutuskan untuk keluar rumah. Sekali jalan pikirku karena sorenya aku ada janji dengan Ani. Ternyata hari mendung memang ditujukan untukku.
Kurang 20 meter dari rumah Iki, hatiku sudah tak karuan. Moodku tiba-tiba hilang yang tadinya dengan semangat 45 kini berubah jadi ragu. Tapi akhirnya kupastikan langkahku menuju kesana. Di depan rumahnya aku mendengar suara cewek dan kutahu itu suara adiknya Iki tapi suara yang satunya lagi?Tia, aku pikir pasti dia. Belum sempat aku masuk,iki keluar dari samping rumahnya. Kulihat wajahnya langsung pucat. Dan bertambahlah keyakinanku kalau wanita yang satunya adalah tia. Saat iki mengajakku masuk dan ingin memperkenalkanku dengan tia, aku diam. Bukan diam karena aku tak mau, tapi karena aku menyesali apa yang sedang kurasakan. Bodohnya aku. Kecemburuan ini terlalu besar menguasaiku. Aku marah bukan karena ada tia di rumah Iki. Aku marah karena aku terlalu cemburu. Saat iki masuk ke dalam, aku meninggalkan rumahnya tanpa pamit. Otakku tak bisa berpikir bagaimana aku mengatasinya. Jalan, senyum, itu yang kulakukan saat Iki mengejarku. Aku sama sekali tak mendengar apa yang dia bicarakan. Aku sibuk menyalahkan diriku. Kecemburuan ini akan merusak diriku. Aku lupa dengan prinsip-prinsip yang selama ini kujalani. Aka lalai. Sebenarnya kalaupun saat itu Iki bilang ia menyukai tia dan ingin bersamanya aku sudah siap walau cemburu itu pasti ada. Aku menikmati diamku. Dan aku tidak perduli lagi. Aku pasrah. Telihat cengeng memang tapi aku tak tahu harus bagaimana. Di dalam diamku aku bertanya-tanya kenapa aku begitu sayang dengannya. Dan dalam diam tak kutemukan jawabannya.
Dan sekali lagi aku luluh. Aku diam mendengarkan semua penjelasannya. Aku tidak tahu apakah aku percaya atau tidak. Yang pasti aku cukup tenang menghadapinya.

*
17 November 2008.

Aku benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan. Egi memberikan vitamin untukku. Hari ini aku harus lembur dan tak sedetikpun aku istirahat. Vitamin yang diberikan egi memang membuat nafsu makanku meningkat tapi perasaanku mengalahkan nafsu makanku. Aku ingin seseorang mendengarkan keluh kesahku. Egi ada tapi aku tak bisa cerita dengannya. Seperti malam ini sebelum aku masuk kantor ia menemaniku menyeruput capucinoku. Egi tahu aku capek dan lelah baik secara fisik ataupun mental dan kutahu ia sangat ingin membantuku tapi aku menolaknya. Bahkan saat mengantarku ke kantor ia tetap mengkhawatirkanku. Kusandarkan badanku di mobilnya sembari mengetik sms untuk Iki. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin bercerita dengannya. Tapi balasan yang kudapat sangat membuat hatiku miris. Aku bingung, ada laki-laki disampingku yang begitu care dan sangat menghawatirkanku tapi aku masih memikirkan Iki. Aku ingat Eca dan aku merasa bersalah dengannya. Jujur aku sangat senang mendapat perhatian dari Egi. Walau aku lebih sering menolak perhatiannya yang berlebih kepadaku. Seandainya itu dari Iki mungkin aku akan melayang karena gembira.
“kenapa kamu gak mau cerita sama aku?tanya egi.
“bukan gitu gi. Rie Cuma takut dan malu. Egi udah begitu baik sama rie dan rie gak mau masalah ini nyusahin orang-orang disamping rie”.
“kamu bilang kita sahabat tapi kenapa kamu musti malu sama aku?
Aku diam dan berharap egi diam.
“kamu selalu berharap iki akan mendengarkan keluh kesahmu tapi itu tidak pernah terjadi. Aku bingung, hubungan kalian itu seperti apa? Maaf bukannya aku ikut campur tapi semuanya udah gak balance. Kamu selalu dituntut buat ngertiin iki tapi gimana dengannya?apa iki tahu kalau sekarang kamu sangat membutuhkannya?apa iki selalu ada buat kamu?apa perasaannya sama besar seperti perasaanmu?ini bukan rie yang aku kenal. Yang kutahu rie itu cuek. Sangat jarang ia main perasaan. Ia tidak akan membiarkan perasaannya mempermainkannya seperti ini. Jadi kalau emang kamu gak mau cerita setidaknya kembalilah seperti rie yang dulu, yang firgie nathanael soma kenal. Cuek tapi perhatian.”jelas egi panjang lebar.
Sekejap aku termenung mendengar kata-kata egi. Kupikirkan kata demi kata darinya itu. Dan kesakitanlah yang kudapat. Aku benci semuanya. Rasanya aku ingin menangis di depan egi tapi kuurungkan karena bayangan eca tiba-tiba muncul. Ca maaf karena aku mengambil sedikit perhatian egi darimu.
Setelah egi pulang kuputuskan untuk menelepon Iki aku ingin menangis dan menumpahkan semua kesedihanku kepadanya. Mail box. Selalu seperti itu. Kucoba lagi dan nyambung.
Aku senang mendengar suara Iki. Tapi belum sempat aku menumpahkan semuanya, iki mulai bercerita tentang kondisinya. Aku mendengarkan ia bercerita, air mataku tumpah bukan karena mendengar ceritanya atau rasa kangenku padanya. Aku menangis karena masalahku. Iki tidak tahu kalau aku menangis karena aku menahannaya. Tidak lebih dari setengah jam hp ku mati, lowbat. Dan aku menangis sejadinya. Aku bohong padanya. Aku bilang kalau aku sedang di tempat temanku, padahal aku di ruanganku. Gelap menemaniku dalam tangis sampai aku tertidur di meja kerjaku.

*

Sabtu, 21 Februari 2009

Sesungguhnya Cinta

Bukan aku tak mencintaimu
Tapi aku takut cintaku kepadamu lebih besar
Dari cintaku kepadaNya
Bukan aku tak sayang padamu tapi
Ketakutanku akan sayangku yang lebih besar
Kepadamu dibanding padaNYa
Bukan cinta tak terucap
Tapi ketakutanlah yang mengelukan lidah
Ketakutanku akan cinta yang kuanggap suci
Ternyata hanya sebuah nafsu belaka
Ketakutanku akanNya
mengalahkan rasa nafsu yang akan
Menguasaiku

Maka maafkanlah aku
Karena cintaku tak terucap
Maafkanlah aku
Karena cinta & sayangku lebih besar
kepadaNYa dari mu

Namun satu hal yang kutahu
Cintaku kepadamu tulus karenaNya
Bukan sekedar nafsu yang kan menuntun
Ke jalan musuhNya
Yang kan merusak arti cinta
Yang kan mereguh cinta dari aku & kau

Satu hal yang kutahu
Sayangku padamu membuatku sadar akanNya
Sadar akan karunia cinta yang diberiNya kepadaku & kau
Sadar akan beda cinta & nafsu
Satu hal yang ku ingin bagi padamu
cintaku cintamu
Menuntunku & kau pada Cinta yang sesungguhnya
Cinta yang haqiqi dalam dekapanNya…………

Assalammu'alaikum dunia......!

Apa kabar.....?